2010/07/20

Kebocoran anggaran di daerah

Jakarta.IN.com
Kebocoran anggaran di daerah, antara lain, disebabkan praktik percaloan. Akibat praktik ini disinyalir anggaran bocor sebesar 20-30 persen dari total dana dari pusat ke daerah. Kriteria penetapan daerah yang berhak atas alokasi anggaran dinilai sangat longgar sehingga memunculkan perantara.

”Biaya-biaya ilegal membuat anggaran pembangunan menjadi terpangkas. Ini sangat rawan bagi para anggota Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) di daerah yang hampir semuanya berbisnis dari anggaran pemerintah,” kata Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah Agung Pambudi di Jakarta, Senin (27/9/2010).

Menurut Agung, percaloan anggaran masih kerap terjadi karena ketentuan yang mengatur tentang penetapan daerah penerima dana dari pusat tergolong longgar sehingga membuka ruang untuk negosiasi. Negosiasi biasanya pada upaya meyakinkan kementerian dan lembaga tentang urgensi peruntukan alokasi dana bagi daerah tertentu.

”Praktik itu bisa dicegah jika mekanisme penetapan daerah yang layak mendapatkan DAK (dana alokasi khusus) atau dana program kementerian dan lembaga sudah terlembaga dengan baik,” ujarnya.

Di sisi lain, pemerintah sering kali salah kaprah pada saat kepala daerahnya memaksakan ukuran kinerja satuan kerja perangkat daerah (SKPD) dengan mengacu pada seberapa besar program kementerian dan lembaga yang dilaksanakan di daerahnya. Akibatnya, kepala SKPD harus berusaha mengamankan jabatannya dengan berbagai cara, antara lain, mencari kemudahan melalui perantara.

”Tentu saja hal itu ’menyunat’ anggaran pembangunan di daerah. Ini sangat rawan. Salah satu yang bisa dilakukan para pengusaha anggota Kadin di daerah adalah harus memulai dari diri sendiri, jangan berlaku sebagai calo anggaran, melainkan harus membantu daerah memetakan dan mempromosikan potensi daerahnya,” tutur Agung.

Makin meningkat

Anggaran transfer pusat ke daerah kian meningkat dari tahun ke tahun karena Indonesia mengikuti prinsip dana akan mengikuti pelaksanaan fungsi, di mana sejak otonomi daerah ditetapkan, pemerintah daerah mendapatkan kewenangan penuh mengurus dirinya sendiri.

Ekonom Dradjad H Wibowo mengungkapkan, transfer ke daerah itu tidak efisien karena perilaku menggandakan kebutuhan anggaran (mark up) masih terjadi. Besaran mark up di daerah itu sering kali lebih besar daripada anggaran kementerian dan lembaga di pusat.

”Praktik mark up ini menjamur karena BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) dan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) sering kesulitan memeriksa kondisi keuangan di daerah. Oleh karena itu, perlu kerja sama yang erat untuk mengembangkan standar efisiensi setiap pos belanja,” ujarnya.

Secara terpisah, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana menyebutkan, alokasi anggaran di daerah memang patut dipertanyakan. Sebab, banyak daerah yang mengalokasikan 60-70 persen dari anggarannya dalam APBD hanya untuk membiayai ongkos pemerintahan umum, antara lain, gaji pegawai dan guru.

Atas dasar itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan) Evert Erenst Mangindaan diminta menyiapkan petunjuk khusus bagi daerah dalam mengalokasikan anggaran pemerintahan umum. Petunjuk khusus ini wajib digunakan daerah saat menyusun rancangan APBD. Dengan cara ini, diharapkan ada bagian dari anggaran yang dipergunakan untuk membangun infrastruktur dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

”Petunjuk khusus itu harus selesai pada tahun ini sehingga bisa secara bertahap diterapkan oleh setiap pemerintah daerah. Petunjuk dari Menpan itu akan mengatur besaran kebutuhan biaya pemerintahan umum pada setiap daerah. Besarannya akan berlainan pada setiap daerah. Ini termasuk akan mengatur besarnya jumlah pegawai honorer di daerah,” tuturnya.